Senin, 16 Mei 2016

Metode Penelitian Semester IV - RITUAL HABUKUNG DALAM UPACARA TIWAH LALE


RITUAL HABUKUNG DALAM UPACARA TIWAH LALE






Oleh:
NINA SARI
NIM 1410027411



TUGAS AKHIR METODE PENELITIAN
PROGRAM STUDI S1 SENI TARI
JURUSAN TARI FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN
INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA
 GENAP 2016




RITUAL HABUKUNG DALAM UPACARA TIWAH LALE

1.    Latar Belakang Masalah
            Dalam ritual adat kematian suku Dayak di Kalimantan Tengah. Dikenal tradisi Habukung atau Bukung berupa tarian hiburan untuk keluarga yang sedang berduka. Penarinya menggunakan topeng Bukung bermotif Sababuka.  Motif topeng Sababuka dapat berupa wajah seram dan menakutkan. Dengan ciri-cirinya yaitu hidung panjang, mata besar, bertaring, dan lidah menjulur keluar. Bukung-bukung bertopeng motif Sababuka itu hadir sambil membawa tarian bernama tari topeng Bukung. Tarian ini dibuat dengan gaya yang lucu dan riang. Dengan tujuan agar para keluarga yang sedang berduka dapat terhibur.
Tarian topeng Bukung tersebut dimiliki oleh masyarakat yang menganut agama Kaharingan. Kaharingan merupakan kepercayaan yang dianut oleh suku Dayak Ngaju. Mereka percaya bahwa setiap manusia yang telah meninggal dunia tidak akan bisa sampai rohnya kehadirat Ranying Hattala Langit (Tuhan) tanpa sebuah perantara, yakni upacara Tiwah Lale. Dalam kepercayaan ini, dipercaya bahwa kehidupan manusia diatur dengan jelas dari asal muasal kehidupan hingga kematian. Kematian adalah suatu peristiwa yang sangat sakral bagi mereka. Karena mereka percaya setelah kematian terdapat kehidupan yang kekal di Lewu Tatau (surga). Namun jiwa yang telah terlepas dari badan tidak langsung berada di Lewu Tatau begitu saja. Melainkan harus melewati sebuah proses ritual kematian.

Sebagai wujud penyempurnaan untuk meluruskan perjalanan jiwa menuju tempat keabadian tersebut, diadakanlah sebuah upacara adat atau ritual kematian. Upacara ini disebut upacara Tiwah Lale. Masyarakat suku Dayak Ngaju juga sering menyebutnya dengan upacara Tiwah saja. Tiwah Lale merupakan upacara ritual kematian tingkat akhir bagi masyarakat suku Dayak Ngaju yang amatlah beresiko tinggi, maka pelaksanaan dan persiapannya harus dilakukan dengan benar-benar cermat dan hikmat.[1]
Sedikit saja terjadi kekeliruan atau pelaksanaan tidak sempurna. Secara mitologi, para kerabat pelaksana Tiwah Lale akan menanggung beban berat. Mulai dari jauh rezeki hingga menanggung kutukan dari jiwa yang akan ditiwahkan.
Upacara Tiwah Lale atau biasa juga disebut Magah Salumpuk Liau merupakan upacara kematian sakral terbesar. Sebagai sebuah upacara yang besar, Tiwah Lale memiliki tahapan upacara. Tahapan upacara tersebut mulai dari, Mangubur, dalam tahap awal ini arwah dan  jasad diserahkan kepada Raja Entai Nyahu yang bertugas sebagai penjaga kuburan. Kedua, Tantulak Ambun Rutas Matei atau istilah lainnya Mapas Pali. Mapas Pali ialah menjauhkan keluarga dari arwah yang meninggal dari segala bentuk kesialan. Ketiga ialah upacara sucinya, yaitu upacara Tiwah Lale, yaitu prosesi pengantaran jiwa dan roh yang telah meninggal dunia menuju tempat yang dituju yaitu Lewu Liau atau biasa disebut Lewu Tatau (surga) yang letaknya di langit ketujuh. Pada puncak upacara Tiwah ini adalah menggali kubur manusia yang telah meninggal dan mengangkat tulang belulangnya untuk disemayamkan di dalam Sandung. Sandung merupakan rumah kecil dengan tiang yang sangat tinggi.
            Upacara Tiwah Lale yaitu prosesi menghantarkan jiwa kerabat yang telah meninggal dunia ke surga dengan cara menyucikan dan memindahkan sisa jasad dari liang kubur menuju sebuah tempat yang bernama Sandung. Sandung merupakan rumah kecil dengan tiang yang sangat tinggi. Di halaman depan dan di dalam Sandung tersebut, terdapat pula ritual Habukung atau bisa juga disebut dengan Babukung yang merupakan sebuah pertunjukan tari topeng Bukung. Bukung adalah sosok manusia yang berpakaian aneh dengan menggunakan topeng yang menyerupai hantu, hewan, dan tumbuhan yang menari-nari seolah sedang mengiringi kepergian jiwa ke surga. Sosok Bukung diperankan oleh kerabat yang berduka cita. Selain para kerabat, biasanya juga dapat diperankan oleh masyarakat . Terutama para laki-laki dewasa suku Dayak Ngaju tersebut. 
Perwujudannya memakai baju compang-camping, berlumur lumpur, bahkan berbaju daun kering. Adanya pertunjukan tari topeng Bukung ini, membuat duka cita para kerabat yang ditinggalkan menjadi kalah dengan kegembiraan mereka. Karena mereka dapat melaksanakan upacara Tiwah Lale. Dengan maksud untuk menghantarkan jiwa kerabatnya menuju alam sorgawi. Hal itu mereka salurkan dengan cara menari-nari tersebut.


            Upacara Tiwah dipimpin oleh Basir atau Pisur. Istilah  Basir dipakai di daerah Kahayan. Sedangkan Pisur di daerah Katingan. Pada umumnya upacara yang dipimpin oleh  Basir lebih lama. Karena berkisar hingga 2 bulan. Berbeda dengan  yang  dipimpin oleh  Pisur dengan waktu yang  lebih singkat.[2]
            Ritual Habukung dapat juga disebut tari topeng Bukung. Ritual ini biasanya digelar dua kali. Dalam dua bentuk dan tahapan upacara kematiannya yang berbeda cara maupun waktunya. Pertama, pada saat upacara Mangubur dengan bentuk Bukung Kinyak. Bukung Kinyak ini digelar pada pagi hari. Tetapi dapat juga digelar pada siang hari.  Kedua, pada malam hari saat upacara Tiwah. Sering juga dibawakan tari topeng Bukung dengan bentuk Bukung Bungkus.
            Dalam tahapan upacara Mangubur, Bukung Kinyak bertugas mengarak jenazah menuju tempat penguburan dan sekaligus menguburkannya. Bukung Kinyak biasanya tidak menggunakan topeng hanya melumuri seluruh badan dengan lumpur dan dedaunan. Pada saat upacara Tiwah, Bukung Bungkus mengenakan balutan daun pisang kering atau menggunakan ijuk, dengan berbagai macam karakter topeng.
            Tarian topeng Bukung dilaksanakan setiap malam selama ritual kematian berlangsung. Dengan diiringi property tari sekaligus menjadi alat musiknya yang disebut Salekap. Alat musik ini terbuat dari bambu yang tanpa ruas. Termasuk dalam jenis alat musik perkusi. Dengan cirinya bambu yang setengah terbelah, memiliki ruas dan sekaligus menjadi resonator. Ada beberapa penari yang menarikan tari topeng Bukung ini juga sambil memainkan Salekap. Namun ada para penari yang hanya menari saja tanpa menggunakan property Salekap tersebut. Begitupun dengan para pemusik yang hanya membunyikan Salekap bersamaan dengan alat musik lainnya. Alat musik lainnya tersebut seperti kecapi, bedug dan gong khas Kalimantan Tengah.
            Tarian ini biasanya dilakukan berbanjar dan mengelilingi kampung dengan gerak lemu lambai. Gerak lemu lambai yaitu gerak mengayunkan tangan dengan santai. Dilakukan dengan mengikuti ritme gerak hentakan kaki secara bersamaan. Pada puncak ritual mereka menarikan gerak menganjan. Gerak menganjan merupakan sebuah gerak pengesaan seperti gerak menyembah kepada Tuhan. Biasanya para penari Bukung ini menggerakkannya dalam bentuk pola lantai melingkar. Sambil mengelilingi sangkai lunuk. Sangkai lunuk merupakan pusat atau posisi yang berada di tengah-tengah tempat upacara. Ini yang dilakukan saat Bukung Bungkus yang menarikannya. Berbeda dengan bentuk Bukung Kinyak. Gerak lemu lambai dan gerak menganjan tersebut dilakukan pada saat penguburan jenazah. Bukung Kinyak akan mengarak mayat sampai menguburkannya. [3]



2. Rumusan Masalah
Uraian latar belakang di atas memunculkan rumusan masalah sebagai rujukan dalam penulisan ini, diantaranya sebagai berikut :
1.      Bagaimana bentuk penyajian dan fungsi tari topeng Bukung dalam upacara Tiwah di Kalimantan Tengah?
2.      Apa saja nilai-nilai yang terkandung dalam ritus Habukung saat upacara Tiwah di Kalimantan Tengah?
3.    Tujuan Penelitian
       Sebuah penelitian harus mempunyai tujuan yang ingin disampaikan. Berikut tujuan dari penelitian ini :
a.    Mengetahui dan mendeskripsikan bentuk penyajian dan fungsi tari topeng Bukung dalam upacara Tiwah di Kalimantan Tengah.
b.    Menelaah nilai-nilai yang terkandung dalam ritus Habukung saat upacara Tiwah di Kalimantan Tengah.
4.     Manfaat Penelitiaan
       Adapun manfaat dari penelitian ini untuk masyarakat, penulis atau peneliti. Berikut manfaat dari penelitian ini :
a.    Mengetahui dan memahami serta menambah wawasan bagi penulis atau peneliti tentang bentuk penyajian, fungsi tari serta nilai-nilai yang terkandung dalam ritus Habukung saat upacara Tiwah di Kalimantan Tengah.
b.    Memberikan informasi kepada masyarakat tentang kesenian tari topeng yang berasal dari Kalimantan Tengah.
5.    Tinjauan Sumber
Buku yang berjudul Adat Istiadat Dayak Ngaju. Diterbitkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat - Pusat Budaya Betang Kalimantan Tengah (LSM - PBBKT). Gambaran isi buku ini ialah tentang peran adat istiadat dalam kehidupan masyarakat suku Dayak Ngaju.Serta aspek budaya suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Buku ini sangat bermanfaat untuk penjelasan tentang unsur-unsur kebudayaan suku Dayak Ngaju.
Buku yang berjudul Seni Pertunjukan Dan Masyarakat Penonton oleh Y. Sumandiyo Hadi. Buku tersebut menjelaskan tentang keberadaan seni pertunjukan dengan para penontonnya. Salah satu gambaran isi buku ini ialah tentang fungsi pelembagaan seni pertunjukan. Fungsi pelembagaan tersebut meliputi pelembagaan  fungsi kepercayaan. Dengan upacara Tiwah yang merupakan salah satu contohnya di dalam buku ini. Begitulah alasan buku ini menjadi sangat bermanfaat untuk tambahan informasi yang terkait dengan upacara Tiwah sebagai pembahasan dalam penelitian ini.
Buku katalog pameran yang berjudul The Power Of Topeng. Diterbitkan oleh Museum Sonobudoyo. Gambaran isi buku ini ialah tentang sejarah, fungsi, dan makna simbolik yang berkaitan langsung dengan topeng nusantara. Buku ini  juga sangat bermanfaat untuk penjelasan tentang rumusan paling utama mengenai fungsi topeng di Indonesia.


6.    Pendekatan Penelitian
            Bentuk penyajian tari topeng Bukung dalam upacara Tiwah di Kalimantan Tengah ini pendekatan ilmunya berkaitan dengan ilmu Koreografi. Adapun Fungsi tari topeng Bukung ini melalui pendekatan ilmu Antropologi. Sedangkan nilai-nilai yang terkandung dalam tari topeng Bukung berkaitan dengan pendekatan ilmu Estetika.
            Landasan berpikir penelitian ini lebih merujuk pada acuan sumber-sumber pustaka berupa buku-buku tentang kebudayaaan. Dilengkapi dengan sumber lisan yang juga membantu dalam peroses penelitiannya. Dimengerti sebagai perangkat analisis penelitiannya bahwa tari topeng Bukung tidak lepas dengan wujud adat istiadat lingkungan dan sekitarnya. Berisi kerangka konseptual yang digunakan untuk menjelaskan, mendeskripsikan dan menganalisis permasalahan penelitian mengenai bentuk penyajian, fungsi dan nilai-nilai yang terkandung dalam tari topeng Bukung.
            Penelitian ini bersifat deskriptif karena hanya mendeskripsikan tentang bentuk penyajian, fungsi dan nilai-nilai yang terkandung dalam tari topeng Bukung. Bersifat naturalistik karena penelitian ini memang terjadi secara alamiah, apa adanya serta dalam situasi normal yang tidak memanipulasi keadaan dan kondisinya. Kedua sifat pendekatan penelitian kualitatif tersebut telah dipakai untuk membantu proses penelitian ini. Menyangkut aspek bentuk penyajian, fungsi dan nilai-nilai yang terkandung dalam tari topeng Bukung.




[1]Tjilik Riwut, 2003, Maneser Panatau Tatu Hiang, Palangkaraya:Pusakalima, 22

[2]Y. Sumandiyo Hadi, 2012, Seni Pertunjukan dan Masyarakat Penonton, Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, 48
[3]Wawancara langsung dengan Budi Jaya Habibi, berusia 22 tahun, seorang penari di salah satu sanggar asal kabupaten Sampit provinsi Kalimantan Tengah. Pada hari Minggu, tanggal 27 Maret 2016 pukul 13.47 wib di Pendopo Tari Intitut Seni Indonesia Yogyakarta.


Daftar Sumber Acuan
a)      Sumber Tertulis
Brown, Radcliffe A.R. 1980. Struktur dan Fungsi Masyarakat Primitif,
terjemahan Ab. Razak. Kuala Lumpur: Dewan dan Kementrian Pelajaran Malaysia.

Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. 2015. The Power Of Topeng. Yogyakarta: Museum Sonobudoyo.
Hadi, Y. Sumandiyo. 2012. Seni Pertunjukan dan Masyarakat Penonton. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.
Lembaga Swadaya Masyarakat - Pusat Budaya Betang Kalimantan Tengah. 2003. Adat Istiadat Dayak Ngaju. Kalimantan Tengah: LSM - PBBKT.
Poerwanto, Hari. 2010. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Riwut, Tjilik. 2000. Kalimantan Membangun. Palangka Raya: Pusakalima.
Riwut, Tjilik. 2003.  Maneser Panatau Tatu Hiang. Palangka Raya: Pusakalima.
Royce, Anya Peterson. 1977. The Antropology of Dance. Bloomington, London: Indiana University Press.
Sedyawati, Edi.2006. Budaya Indonesia : Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah.   Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Smith, Jacqueline. 1973. Komposisi Tari: Sebuah Pertunjukan Praktis Bagi Guru, terjemahan Ben Suharto. Yogyakarta: Ikalasti Yogyakarta.
b)      Sumber Lisan
Budi Jaya Habibi seorang penari di salah satu sanggar asal kabupaten Sampit provinsi Kalimantan Tengah, berusia 22 tahun.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar