RITUAL
HABUKUNG DALAM UPACARA TIWAH LALE
Oleh:
NINA
SARI
NIM
1410027411
TUGAS AKHIR METODE
PENELITIAN
PROGRAM STUDI S1
SENI TARI
JURUSAN TARI
FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN
INSTITUT SENI
INDONESIA YOGYAKARTA
GENAP 2016
RITUAL
HABUKUNG DALAM UPACARA TIWAH LALE
1.
Latar
Belakang Masalah
Dalam ritual adat kematian suku
Dayak di Kalimantan Tengah. Dikenal tradisi Habukung atau
Bukung berupa tarian hiburan untuk keluarga yang sedang berduka.
Penarinya menggunakan topeng Bukung bermotif
Sababuka. Motif topeng Sababuka dapat berupa wajah seram dan
menakutkan. Dengan ciri-cirinya yaitu hidung panjang, mata besar, bertaring,
dan lidah menjulur keluar. Bukung-bukung
bertopeng motif Sababuka itu hadir
sambil membawa tarian bernama tari topeng Bukung.
Tarian ini dibuat dengan gaya yang lucu dan riang. Dengan tujuan agar para
keluarga yang sedang berduka dapat terhibur.
Tarian topeng Bukung tersebut dimiliki oleh masyarakat yang menganut agama Kaharingan. Kaharingan merupakan kepercayaan yang dianut oleh suku Dayak Ngaju.
Mereka percaya bahwa setiap manusia yang telah meninggal dunia tidak akan bisa
sampai rohnya kehadirat Ranying Hattala
Langit (Tuhan) tanpa sebuah perantara, yakni upacara Tiwah Lale. Dalam kepercayaan ini, dipercaya bahwa kehidupan
manusia diatur dengan jelas dari asal muasal kehidupan hingga kematian.
Kematian adalah suatu peristiwa yang sangat sakral bagi mereka. Karena mereka
percaya setelah kematian terdapat kehidupan yang kekal di Lewu Tatau (surga). Namun jiwa yang telah terlepas dari badan tidak
langsung berada di Lewu Tatau begitu
saja. Melainkan harus melewati sebuah proses ritual kematian.
Sebagai wujud penyempurnaan untuk
meluruskan perjalanan jiwa menuju tempat keabadian tersebut, diadakanlah sebuah
upacara adat atau ritual kematian. Upacara ini disebut upacara Tiwah Lale. Masyarakat suku Dayak Ngaju
juga sering menyebutnya dengan upacara Tiwah
saja. Tiwah Lale merupakan upacara
ritual kematian tingkat akhir bagi masyarakat suku Dayak Ngaju yang amatlah
beresiko tinggi, maka pelaksanaan dan persiapannya harus dilakukan dengan
benar-benar cermat dan hikmat.[1]
Sedikit saja
terjadi kekeliruan atau pelaksanaan tidak sempurna. Secara mitologi, para
kerabat pelaksana Tiwah Lale akan
menanggung beban berat. Mulai dari jauh rezeki hingga menanggung kutukan dari
jiwa yang akan ditiwahkan.
Upacara Tiwah Lale atau biasa juga disebut Magah Salumpuk Liau merupakan upacara kematian sakral terbesar.
Sebagai sebuah upacara yang besar, Tiwah
Lale memiliki tahapan upacara. Tahapan upacara tersebut mulai dari, Mangubur, dalam tahap awal ini arwah
dan jasad diserahkan kepada Raja Entai Nyahu yang bertugas sebagai
penjaga kuburan. Kedua, Tantulak Ambun
Rutas Matei atau istilah lainnya Mapas
Pali. Mapas Pali ialah menjauhkan keluarga dari arwah yang meninggal dari
segala bentuk kesialan. Ketiga ialah upacara sucinya, yaitu upacara Tiwah Lale, yaitu prosesi pengantaran
jiwa dan roh yang telah meninggal dunia menuju tempat yang dituju yaitu Lewu Liau atau biasa disebut Lewu Tatau (surga) yang letaknya di
langit ketujuh. Pada puncak upacara Tiwah
ini adalah menggali kubur manusia yang telah meninggal dan mengangkat tulang
belulangnya untuk disemayamkan di dalam Sandung.
Sandung merupakan rumah kecil dengan
tiang yang sangat tinggi.
Upacara
Tiwah Lale yaitu prosesi
menghantarkan jiwa kerabat yang telah meninggal dunia ke surga dengan cara
menyucikan dan memindahkan sisa jasad dari liang kubur menuju sebuah tempat
yang bernama Sandung. Sandung merupakan rumah kecil dengan
tiang yang sangat tinggi. Di halaman depan dan di dalam Sandung tersebut, terdapat pula ritual Habukung atau bisa juga
disebut dengan Babukung yang
merupakan sebuah pertunjukan tari topeng Bukung.
Bukung adalah sosok manusia yang
berpakaian aneh dengan menggunakan topeng yang menyerupai hantu, hewan, dan
tumbuhan yang menari-nari seolah sedang mengiringi kepergian jiwa ke surga. Sosok
Bukung diperankan oleh kerabat yang
berduka cita. Selain para kerabat, biasanya juga dapat diperankan oleh
masyarakat . Terutama para laki-laki dewasa suku Dayak Ngaju tersebut.
Perwujudannya memakai baju
compang-camping, berlumur lumpur, bahkan berbaju daun kering. Adanya
pertunjukan tari topeng Bukung ini,
membuat duka cita para kerabat yang ditinggalkan menjadi kalah dengan
kegembiraan mereka. Karena mereka dapat melaksanakan upacara Tiwah Lale. Dengan maksud untuk menghantarkan
jiwa kerabatnya menuju alam sorgawi. Hal itu mereka salurkan dengan cara
menari-nari tersebut.
Upacara
Tiwah dipimpin oleh Basir atau Pisur. Istilah Basir dipakai
di daerah Kahayan. Sedangkan Pisur di
daerah Katingan. Pada umumnya upacara yang dipimpin oleh Basir lebih
lama. Karena berkisar hingga 2 bulan. Berbeda dengan yang
dipimpin oleh Pisur dengan waktu yang lebih singkat.[2]
Ritual
Habukung dapat juga disebut tari topeng Bukung.
Ritual ini biasanya digelar dua kali. Dalam dua bentuk dan tahapan upacara
kematiannya yang berbeda cara maupun waktunya. Pertama, pada saat upacara Mangubur dengan bentuk Bukung Kinyak. Bukung Kinyak ini digelar
pada pagi hari. Tetapi dapat juga digelar pada siang hari. Kedua, pada malam hari saat upacara Tiwah. Sering juga dibawakan tari topeng
Bukung dengan bentuk Bukung Bungkus.
Dalam
tahapan upacara Mangubur, Bukung Kinyak bertugas mengarak jenazah
menuju tempat penguburan dan sekaligus menguburkannya. Bukung Kinyak biasanya tidak menggunakan topeng hanya melumuri
seluruh badan dengan lumpur dan dedaunan. Pada saat upacara Tiwah, Bukung Bungkus mengenakan balutan
daun pisang kering atau menggunakan ijuk, dengan berbagai macam karakter
topeng.
Tarian
topeng Bukung dilaksanakan setiap
malam selama ritual kematian berlangsung. Dengan diiringi property tari sekaligus menjadi alat musiknya yang disebut Salekap. Alat musik ini terbuat dari
bambu yang tanpa ruas. Termasuk dalam jenis alat musik perkusi. Dengan cirinya
bambu yang setengah terbelah, memiliki ruas dan sekaligus menjadi resonator. Ada beberapa penari yang
menarikan tari topeng Bukung ini juga
sambil memainkan Salekap. Namun ada para penari yang hanya
menari saja tanpa menggunakan property Salekap
tersebut. Begitupun dengan para pemusik yang hanya membunyikan Salekap bersamaan dengan alat musik lainnya. Alat musik
lainnya tersebut seperti kecapi, bedug dan gong khas Kalimantan Tengah.
Tarian
ini biasanya dilakukan berbanjar dan mengelilingi kampung dengan gerak lemu lambai. Gerak lemu lambai yaitu gerak mengayunkan tangan dengan santai. Dilakukan
dengan mengikuti ritme gerak hentakan kaki secara bersamaan. Pada puncak ritual
mereka menarikan gerak menganjan. Gerak menganjan merupakan sebuah gerak
pengesaan seperti gerak menyembah kepada Tuhan. Biasanya para penari Bukung ini menggerakkannya dalam bentuk
pola lantai melingkar. Sambil
mengelilingi sangkai lunuk. Sangkai lunuk merupakan pusat atau
posisi yang berada di tengah-tengah tempat upacara. Ini yang dilakukan saat Bukung Bungkus yang menarikannya. Berbeda dengan bentuk Bukung Kinyak. Gerak lemu lambai dan gerak menganjan tersebut dilakukan pada saat
penguburan jenazah. Bukung Kinyak
akan mengarak mayat sampai menguburkannya. [3]
2.
Rumusan Masalah
Uraian latar belakang di atas memunculkan
rumusan masalah sebagai rujukan dalam penulisan ini, diantaranya sebagai
berikut :
1.
Bagaimana bentuk penyajian dan
fungsi tari topeng Bukung dalam
upacara Tiwah di Kalimantan Tengah?
2.
Apa saja nilai-nilai yang
terkandung dalam ritus Habukung saat upacara Tiwah di Kalimantan Tengah?
3.
Tujuan
Penelitian
Sebuah penelitian harus
mempunyai tujuan yang ingin disampaikan. Berikut tujuan dari penelitian ini :
a. Mengetahui
dan mendeskripsikan bentuk penyajian dan fungsi tari topeng Bukung dalam upacara Tiwah di Kalimantan Tengah.
b. Menelaah
nilai-nilai yang terkandung dalam ritus Habukung saat upacara Tiwah di Kalimantan Tengah.
4.
Manfaat Penelitiaan
Adapun
manfaat dari penelitian ini untuk masyarakat, penulis atau peneliti. Berikut
manfaat dari penelitian ini :
a. Mengetahui
dan memahami serta menambah wawasan bagi penulis atau peneliti tentang bentuk
penyajian, fungsi tari serta nilai-nilai yang terkandung dalam ritus Habukung
saat upacara Tiwah di Kalimantan
Tengah.
b. Memberikan
informasi kepada masyarakat tentang kesenian tari topeng yang berasal dari
Kalimantan Tengah.
5.
Tinjauan
Sumber
Buku yang
berjudul Adat Istiadat Dayak Ngaju.
Diterbitkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat - Pusat Budaya Betang Kalimantan
Tengah (LSM - PBBKT). Gambaran isi buku ini ialah tentang peran adat istiadat
dalam kehidupan masyarakat suku Dayak Ngaju.Serta aspek budaya suku Dayak Ngaju
di Kalimantan Tengah. Buku ini sangat bermanfaat untuk penjelasan tentang
unsur-unsur kebudayaan suku Dayak Ngaju.
Buku yang
berjudul Seni Pertunjukan Dan Masyarakat
Penonton oleh Y. Sumandiyo Hadi. Buku tersebut menjelaskan tentang
keberadaan seni pertunjukan dengan para penontonnya. Salah satu gambaran isi
buku ini ialah tentang fungsi pelembagaan seni pertunjukan. Fungsi pelembagaan
tersebut meliputi pelembagaan fungsi
kepercayaan. Dengan upacara Tiwah yang
merupakan salah satu contohnya di dalam buku ini. Begitulah alasan buku ini
menjadi sangat bermanfaat untuk tambahan informasi yang terkait dengan upacara Tiwah sebagai pembahasan dalam
penelitian ini.
Buku katalog
pameran yang berjudul The Power Of Topeng.
Diterbitkan oleh Museum Sonobudoyo. Gambaran isi buku ini ialah tentang
sejarah, fungsi, dan makna simbolik yang berkaitan langsung dengan topeng
nusantara. Buku ini juga sangat
bermanfaat untuk penjelasan tentang rumusan paling utama mengenai fungsi topeng
di Indonesia.
6.
Pendekatan
Penelitian
Bentuk penyajian tari topeng Bukung dalam upacara Tiwah di Kalimantan Tengah ini
pendekatan ilmunya berkaitan dengan ilmu Koreografi.
Adapun Fungsi tari topeng Bukung ini melalui
pendekatan ilmu Antropologi. Sedangkan
nilai-nilai yang terkandung dalam tari topeng Bukung berkaitan dengan pendekatan ilmu Estetika.
Landasan berpikir penelitian ini
lebih merujuk pada acuan sumber-sumber pustaka berupa buku-buku tentang
kebudayaaan. Dilengkapi dengan sumber lisan yang juga membantu dalam peroses
penelitiannya. Dimengerti sebagai perangkat analisis penelitiannya bahwa tari
topeng Bukung tidak lepas dengan
wujud adat istiadat lingkungan dan sekitarnya. Berisi kerangka konseptual yang
digunakan untuk menjelaskan, mendeskripsikan dan menganalisis permasalahan
penelitian mengenai bentuk penyajian, fungsi dan nilai-nilai yang terkandung
dalam tari topeng Bukung.
Penelitian ini bersifat deskriptif karena hanya mendeskripsikan
tentang bentuk penyajian, fungsi dan nilai-nilai yang terkandung dalam tari topeng
Bukung. Bersifat naturalistik karena
penelitian ini memang terjadi secara alamiah, apa adanya serta dalam situasi
normal yang tidak memanipulasi keadaan dan kondisinya. Kedua sifat pendekatan
penelitian kualitatif tersebut telah
dipakai untuk membantu proses penelitian ini. Menyangkut aspek bentuk penyajian,
fungsi
dan nilai-nilai yang terkandung dalam tari topeng Bukung.
[1]Tjilik Riwut,
2003, Maneser Panatau Tatu Hiang,
Palangkaraya:Pusakalima, 22
[2]Y. Sumandiyo Hadi, 2012, Seni Pertunjukan dan Masyarakat Penonton,
Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, 48
[3]Wawancara langsung
dengan Budi Jaya Habibi, berusia 22 tahun, seorang penari di salah satu sanggar
asal kabupaten Sampit provinsi Kalimantan Tengah. Pada hari Minggu, tanggal 27
Maret 2016 pukul 13.47 wib di Pendopo Tari Intitut Seni Indonesia Yogyakarta.
Daftar
Sumber Acuan
a)
Sumber
Tertulis
Brown, Radcliffe A.R. 1980. Struktur dan Fungsi Masyarakat Primitif,
terjemahan
Ab. Razak. Kuala Lumpur: Dewan dan Kementrian Pelajaran Malaysia.
Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa
Yogyakarta. 2015. The Power Of Topeng.
Yogyakarta: Museum Sonobudoyo.
Hadi, Y. Sumandiyo. 2012. Seni Pertunjukan dan Masyarakat Penonton.
Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.
Lembaga Swadaya Masyarakat - Pusat
Budaya Betang Kalimantan Tengah. 2003.
Adat Istiadat Dayak Ngaju. Kalimantan
Tengah: LSM - PBBKT.
Poerwanto, Hari. 2010. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif
Antropologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Riwut, Tjilik. 2000. Kalimantan Membangun. Palangka Raya: Pusakalima.
Riwut, Tjilik. 2003. Maneser
Panatau Tatu Hiang. Palangka Raya: Pusakalima.
Royce, Anya Peterson. 1977. The Antropology of Dance. Bloomington,
London: Indiana University Press.
Sedyawati, Edi.2006. Budaya Indonesia : Kajian Arkeologi, Seni,
dan Sejarah. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada.
Smith, Jacqueline. 1973. Komposisi Tari: Sebuah Pertunjukan Praktis
Bagi Guru, terjemahan Ben Suharto. Yogyakarta: Ikalasti Yogyakarta.
b)
Sumber
Lisan
Budi Jaya Habibi seorang penari di
salah satu sanggar asal kabupaten Sampit provinsi Kalimantan Tengah, berusia 22
tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar