Rabu, 25 Mei 2016

Laporan Kuliah Lapangan "Upacara Merti Dusun di Kulon Progo"


BAB I

PENDAHULUAN



  1. Latar Belakang Kuliah Lapangan
    Kuliah lapangan merupakan kegiatan yang memperkenalkan dunia kerja kepada para mahasiswa. Dengan adanya kuliah lapangan, mahasiswa diharapkan mendapatkan pengetahuan dari kunjungan ke lapangan. Dalam kuliah lapangan kelas Pengantar Ilmu Sosial Budaya ini, mahasiswa tidak hanya diperkenalkan tentang dunia kerja saja, tetapi harapan yang dimaksud ialah untuk mengetahui dan mengenal kebudayaan yang ada di masyarakat. Mengenal budaya masyarakat ini dilakukan agar mahasiswa dapat mengkomparasikan budaya lama dengan perkembangan budaya baru.
    Secara garis besar masyarakat memiliki unsur budaya yang berbeda-beda. Budaya tersebut diperoleh atas garis keturunan budaya yang tidak terdapat perubahan sedikitpun atau hasil dari percampuran antar kebudayaan yang menghasilkan budaya baru. Dalam hal ini dapat disebut budaya asimilasi dan budaya akulturasi. Kedua jenis budaya tersebut dapat ditemukan dalam kebudayaan masyarakat pedesaan dan masyarakat kota. Apapun jenis kebudayaan masyarakat, manusia sebagai makhluk sosial dan budaya tentu senantiasa selalu melestarikan kebudayaan.
    Dalam upaya melestarikan budaya ini mahasiswa Institut Seni Indonesia Yogyakarta dalam kelas Pengantar Ilmu Sosial Budaya mengadakan kuliah lapangan yang kegiatannya dilaksanakan di Dusun Taruban Tuksono, kecamatan Suntolo, kabupaten Kulon Progo.  Mahasiswa di ajak untuk mengamati langsung prosesi upacara Merti Dusun atau Bersih Dusun. Merti Dusun merupakan upacara bersih desa secara batin dari hal-hal buruk dengan cara mengambil air suci di Sindang Kamulyan dan ziarah makan Ki Joko Tarub sebagai leluhur desa Taruban. Upacara ini sudah ada sejak dulu yang hingga kini selalu dilakukan setiap tahun.
    Masyarakat menganggap bahwa upacara Merti Dusun ini tidak hanya sekedar upacara biasa. Tetapi upacara ini merupakan kebudayaan lama yang ada sejak dulu hingga sekarang. Sebagai mahasiswa dalam bidang kesenian diharapkan dapat menjaga dan melestarikan budaya-budaya semacam ini. Untuk itu, perlu pengamatan lebih lanjut untuk mengkaji sebuah kebudayaan masyarakat dan kesenian yang ada didalamnya. Laporan yang ditulis ini adalah salah satu bentuk pengamatan yang bermaksud agar dapat mengetahui lebih jauh mengenai seni dan budaya sehingga dapat melestaraikan kebudayaan yang ada di masyarakat.

  2. Tujuan Kuliah Lapangan
    Tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan kuliah lapangan ini ialah sebagai berikut:

  1. Memberikan pengetahuan mengenai kebudayaan yang ada di masyarakat khususnya budaya masyarakat dusun Taruban.
  2. Memberikan kesempatan mahasiswa untuk melihat dan mengamati secara lansung upacara Merti Dusun di dusun Taruban.
  3. Memperkaya wawasan yang berkaitan langsung dengan ilmu sosial dan budaya serta menambah wawasan tentang kesenian yang ada dalam masyakarat.


  1. Manfaat Kuliah Lapangan
    Manfaat pelaksanaan kuliah lapangan ini adalah sebagai berikut:

  1. Dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapat selama perkuliahan Ilmu Sosial Budaya dalam kegiatan kuliah lapangan yang mengamati langsung tentang kebudayaan yang ada di masyarakat.
  2. Menambah wawasan dan pengalaman yang lebih luas terkait dengan kebudayaan dan kesenian masyarakat.
















    BAB II
    LAPORAN HASIL PENGAMATAN LANGSUNG
    DI DUSUN TARUBAN


  1. Situasi dan Kondisi Sosial Masyarakat Dusun Taruban
    Masyarakat pedesaan atau dusun pada umumnya selalu memiliki ciri-ciri dalam menjalankan hidup bermasyarakat. Biasanya ciri-ciri tersebut tampak dalam perilaku keseharian mereka. Pada situasi dan kondisi tertentu, sebagian karakteristik dapat digeneralisasikan pada kehidupan masyarakat desa di Jawa. Masyarakat pedesaan ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat sesama warga desa, yaitu perasaan setiap warga/anggota masyarakat yang sangat kuat.
    Pada hakikatnya, seseorang merasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dimanapun ia hidup. Rasa kecintaan terhadap lingkungannya membuat seseorang bersedia untuk berkorban setiap waktu demi masyarakatnya atau anggota-anggota masyarakat. Hal ini terjadi karena adanya suatu tanggapan yang menekankan bahwa mereka hidup sama-sama sebagai masyarakat yang saling mencintai dan saling menghormati, serta mempunyai hak tanggung jawab yang sama terhadap keselamatan dan kebahagiaan bersama di dalam masyarakat.
    Secara geografis, masyarakat desa tentu memiliki wiayah dengan batas dan letak yang telah ditentukan. Salah satu contohnya yaitu desa dusun Taruban. Dusun Taruban terletak di Kecamatan Sentulo Kabupaten Kulon Progo. Situasi dan kondisi masyarakat dusun Taruban yang terletak di pedesaan membuat jumlah penduduk yang ada di desa tersebut tidak sebanyak jumlah penduduk yang ada di perkotaan. Kebanyakan dari masyarakat dusun Taruban ialah penduduk asli dusun tersebut.
    Masyarakat dusun Taruban mayoritasnya beragama muslim. Hal ini ditandai dengan adanya pondok pesantren yang dibangun diwilayah desa tersebut. Pondok  pesantren ini bernama Pondok Pesantren Nurul Haromain yang merupakan pondok pesantren terbesar di Kabupaten Kulon Progo. Kebanyakatan dari anak-anak masyarakat dusun Taruban bersekolah di pondok pesantren ini. Bagi mereka pendidikan agama lebih diutamakan. Tetapi selain pendidikan agama, ilmu-ilmu lain juga menjadi salah satu pendidikan yang penting untuk mereka. Terbukti dengan adanya beberapa anak yang telah disekolahkan diluar dusun Taruban dengan tujuan menuntut ilmu yang lebih dalam.
    Adapun mata pencaharian masyarakat dusun Taruban umumnya ialah bertani dan berkebun. Pekerjaan ini didukung oleh banyaknya area lahan yang luas dan subur untuk ditanami tumbuh-tumbuhan. Kondisi pekerjaan ini sangat berpengaruh terhadap system kekerabatan yang ada di dusun tersebut. Banyaknya masyarakat yang hanya tinggal dan bekerja disekitar area pemukiman warga ini membuat mereka selalu akrab dan menjadikan seluruh warga desa sebagai anggota keluarga.
    Situasi dan kondisi sosial masyarakat dusun Taruban memiliki struktur sosial yang sangat baik. Seluruh warga dusun Taruban terlihat seperti kumpulan keluarga besar yang berada dalam satu wilayah. Hal ini dapat dilihat dari gambaran pada saat upacara Merti Dusun yang selalu mereka adakan setiap tahun dengan tujuan membersihkan desa dari hal-hal buruk yang tidak diharapkan.

  2. Upacara Merti Dusun
    Upacara Merti Dusun atau sering disebut bersih desa, hakikatnya adalah simbol rasa syukur masyarakat kepada Yang Maha Kuasa atas limpahan karunia yang diberikan-Nya. Karunia tersebut bisa berwujud apa saja, seperti kelimpahan rezeki, keselamatan, serta ketentraman dan keselarasan hidup. Masyarakat Jawa percaya, ketika sedang dilanda duka dan tertimpa musibah pun masih banyak hal yang pantas disyukuri. Masih ada hikmah dan pelajaran positif yang dapat dipetik dari terjadinya sebuah petaka. Di samping itu, rasa syukur juga bisa menjadi pelipur sekaligus sugesti yang menghadirkan ketenangan jiwa.
    Merti Dusun biasanya dilakukan pada bulan-bulan tertentu dalam kalender jawa. Di dusun Taruban Tuksono, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, belum lama ini tepatnya tanggal 1 mei 2016 mengadakan Merti Dusun. Upacara Merti Dusun ini di ikuti oleh seluruh warga di dusun Taruban. Baik muda ataupun yang sudah berumur. Dalam Merti Dusun, peran masyarakat dalam partisipasinya sangat menentukan proses dan kelestarian budaya ini. Karena mereka melakukan kontak langsung dengan melaksanakan Merti Dusun.
    Selain sebagai upacara membersihkan desa. Merti Dusun juga bertujuan sebagai acara yang dapat mengeratkan kekerabatan warga desa. Kekeraban yang erat itu dapat dilihat dari bagaimana antusias setiap warga yang berpartisipasi dalam upacara Merti Dusun tersebut. Upacara yang diselenggarakan pada satu tahun sekali ini sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh warga, karena bagi mereka acara seperti itu dapat membuat suasana desa yang sepi menjadi ramai.
    Adapun bentuk kegiatan dalam upacara Merti Dusun ini ialah sebagai berikut :

  1. Sabtu (30/04) malam, rangkain pembuka upacara adat dilakukan. Acara ini menghadirkan Bupati Kabupaten Kulon Progo yang memberikan sambutan untuk membuka upacara adat. Kemudian di sajikan sebuah tari Tayub yang di tarikan oleh empat penari wanita cantik dan 4 penari laki-laki yang berdandan sebagai tokoh-tokoh ponokawan. Para penari tersebut menarikan tari tayub dihadapan Bupati dan tokoh adat di iringi dengan irama musik gamelan dan nyanyian oleh para sinden yang telah lanjut usia. Seusai tari Tayub, tokoh adat menyampaikan nazar. Acara pembukaan ini berlangsung dari pukul 20:00 WIB hingga dini hari pukul 03:00 WIB.
  2. Minggu (01/05), pada hari minggu merupakan hari istimewa karena warga akan mengadakan upacara Merti Dusun / bersih desa dan nazar. Di pagi hari, para bergada atau prajurit telah siap dalam barisan karena pelaksanaan kirab akan segera di mulai. Para prajurit tersebut berjalan mengelilingi desa bersama dengan masyarakat yang juga ikut memeriahkan acara. Pada puncak acara terdiri dari pelaksanaan kirab, pengambilan air suci di Sendang Kamulyan, ziarah makam Ki Jaka Tarub, dan kenduri serta penyerahan air suci kepada Pedukuhan Taruban.

Pada awalnya, upacara ini hanya pengambilan air di Sendang Kamulyan dan ziarah makam. Namun saat ini terdapat penambahan kirab.  Setelah acara penutup, ada pagelaran Wayang Kulit yang mengisahkan “Sri Boyong” sri bermakna padi dan boyong berarti membawa pulang. Kemudian disajikan pula pentas 20 kelompok kesenian seperti jathilan klasik, reog, dan yang lainnya. Rangkain bentuk kegiatan yang telah di uraikan di atas adalah sebagian besar hasil dari pengamatan langsung dalam upacar Merti Dusun di desa Taruban Kabupaten Kulon Progo.



  1. Tari Sosial Tayuban

Perubahan zaman telah memberikan warna bagi kehidupan manusia. Perbedaan pola pikir sekelompok masyarakat merupakan bagian dari warna kehidupan tersebut. Meski tidak selalu berdampak buruk, namun hal ini secara tidak langsung telah menciptakan dua kelompok masyarakat. Yaitu kelompok masyarakat primitif dan moderen. Mereka yang merupakan bagian dari masyarakat primitif masih menggunakan sistem dan fungsi-fungsi alam. Segala hal yang mereka lakukan selalu berkenaan dengan alam. Misalnya saja seperti saat mereka melakukan upacara atas keberhasilan panen mereka. Contoh tersebut merupakan salah satu kebudayaan yang diturunkan oleh leluhur mereka.

Kebudayaan masyarakat primitif yang masih bertahan sampai sekarang cukup banyak. Bentuknya pun beragam. Dari bentuk kesenian rakyat hingga tari pergaulan. Di Dusun Taruban misalnya, terdapat beberapa kebudayaan masyarakat primitif yang masih bertahan upacara Merti Dusun yang rangkain acaranya terdapat sajian tari Tayub. Tayub berasal dari kata tata dan guyub (jawa: kiratha basa), yang artinya bersenang-senang dengan mengibing bersama penari wanita. 

Tayub adalah tari pergaulan tetapi dalam perwujudannya bisa bersifat romantis dan bisa pula erotis. Biasa ditarikan oleh penari wanita yang disebut dengan tledhek dan selalu melibatkan penonton pria untuk menari bersama (pengibing). Yang menjadi perhatian disini adalah dalam setiap pertunjukan selalu didominasi oleh penonton pria, sebab pria disini sebagai obyek bagi para tledhek untuk dapat menari bersama mereka dan diharapkan memberi sedikit imbalan (berupa uang = sawer). Tayub dilaksanakan untuk merayakan pesta pernikahan dan berbagai macam hajatan lainnya. Seperti yang selalu dilakukan oleh masyarakat di dusun Taruban. Sebagai daerah wisata, dusun Taruban Kabupaten Kulon Progo ini mampu berkembang dengan mengunggulkan kebudayaan mereka sendiri. Dalam hal ini adalah upacara Merti Dusun dan Tayub.  





                                          

Senin, 16 Mei 2016

Analisis Karakter - Putri Mandalika


Putri Mandalika
(Sasak – Lombok – NTB)



Oleh:
NINA SARI
NIM 1410027411



TUGAS AKHIR ANALISIS GERAK KARAKTER
PROGRAM STUDI S1 SENI TARI
JURUSAN TARI FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN
INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA
 GENAP 2016



Putri Mandalika
Putri Mandalika – Bau Nyale – Suku Sasak - Lombok - Nusa Tenggara Barat


1.        LATAR BELAKANG
Nyale adalah sebuah pesta atau upacara yang dikenal dengan Bau Nyale. Kata Bau berasal dari Bahasa Sasak yang berarti menangkap. Sedangkan kata Nyale berarti cacing laut yang hidup pada lubang-lubang batu karang di bawah permukaan laut. Bau Nyale merupakan sebuah acara perburuan cacing laut. Acara ini diselenggarakan sekitar bulan Februari dan Maret. Tempat penyelenggaraan upacara Bau Nyale ini ada di Pantai Seger, Kuta. Terletak di bagian selatan Pulau Lombok.
Pesta atau upacara Bau Nyale merupakan sebuah peristiwa dan tradisi yang sangat melegenda dan mempunyai nilai sakral tinggi bagi Suku Sasak, Suku asli Pulau Lombok. Keberadaan pesta Bau Nyale ini berkaitan erat dengan sebuah cerita rakyat yang berkembang di daerah Lombok Tengah bagian selatan.




Cerita legenda Festival Bau Nyale
Putri Mandalika, seorang putri cantik jelita yang menjelma menjadi cacing nyale dan muncul sekali dalam setahun di Pantai Lombok. Siapa sangka cacing nyale yang diperebutkan dan dicari-cari setiap tahun oleh masyarakat Lombok ini adalah jelmaan dari seorang putri yang sangat cantik yang zaman dahulu diperebutkan oleh pangeran-pangeran dari berbagai kerajaan di Lombok.
Menurut dongeng bahwa pada zaman dahulu di pantai selatan Pulau Lombok terdapat sebuah kerajaan yang bernama Tonjang Beru. Sekeliling kerajaan ini dibuat ruangan – ruangan yang besar. Ruangan ini digunakan untuk pertemuan raja – raja. Negeri Tonjang Beru ini diperintah oleh raja yang terkenal akan kearifan dan kebijaksanaannya. Raja itu bernama raja Tonjang Beru dengan permaisurinya bernama Dewi Seranting.
Baginda mempunyai seorang putri, namanya Putri Mandalika. Ketika sang putri menginjak usia dewasa, amat elok parasnya. Ia sangat anggun dan cantik jelita. Matanya laksana bagaikan bintang di timur. Pipinya laksana pauh dilayang. Rambutnya bagaikan mayang terurai. Disamping anggun dan cantik ia terkenal ramah dan sopan. Tutur bahasanya lembut. Itulah yang membuat sang putri menjadi kebanggaan para rakyatnya.



Semua rakyat sangat bangga mempunyai raja yang arif dan bijaksana, yang ingin membantu rakyatnya saat kesusahan. Berkat segala bantuan dari raja rakyat negeri Tonjang Beru menjadi hidup makmur, aman dan sentosa. Kecantikan dan keanggunan Putri Mandalika sangat tersohor dari ujung timur sampai ujung barat pulau Lombok. Kecantikan dan keanggunan sang putri terdengar oleh para pangeran – pangeran yang membagi habis bumi Sasak (Lombok). Masing – masing dari kerajaan Johor, Lipur, Pane, Kuripan, Daha, dan kerajaan Beru. Para pangerannya pada jatuh cinta. Mereka mabuk kepayang melihat kecantikan dan keanggunan sang putri. Mereka saling mengadu peruntungan nasibnya. Siapa diantara mereka yang bisa mempersunting Putri Mandalika, maka ialah yang paling beruntung.
 Apa daya dengan sepenuh perasaan halusnya, Putri Mandalika menampik. Para pangeran jadi gigit jari. Dua pangeran amat murka menerima kenyataan itu. Mereka adalah Pangeran Datu Teruna dan Pangeran Maliawang. Masing – masing dari kerajaan Johor dan kerajaan Lipur. Datu Teruna mengutus Arya Bawal dan Arya Tebuik untuk melamar, dengan ancaman hancurnya kerajaan Tonjang Beru bila lamaran itu ditolaknya. Pangeran Maliawang mengirim Arya Bumbang dan Arya Tuna dengan hajat dan ancaman yang serupa.




Putri Mandalika tidak bergeming. Serta merta Datu Teruna melepaskan senggeger Utusaning Allah, sedang Maliawang meniup senggeger Jaring Sutra. Keampuhan kedua senggeger ini tak kepalang tanggung dimata Putri Mandalika, wajah kedua pangeran itu muncul berbarengan. Tak bisa makan, tak bisa tidur, sang putri akhirnya kurus kering. Seisi negeri Tonjang Beru disaput duka.
Kenapa sang putri menolak lamaran ? Karena, selain rasa cintanya mesti bicara, ia juga merasa memikul tanggung jawab yang tidak kecil. Akan timbul bencana manakala sang putri menjatuhkan pilihannya pada salah seorang pangeran. Dalam semadi, sang putri mendapat wangsit agar mengundang semua pangeran dalam pertemuan pada tanggal 20 bulan 10 ( bulan Sasak ) menjelang pagi – pagi buta sebelum adzan subuh berkumandang. Mereka harus disertai oleh seluruh rakyat masing – masing. Semua para undangan diminta datang dan berkumpul di pantai Kuta.
 Tanpa diduga – duga enam orang para pangeran datang, dan rakyat banyak yang datang, ribuan jumlahnya. Pantai yang didatangi ini bagaikan dikerumuni semut. Ada yang datang dua hari sebelum hari yang ditentukan oleh sang putri. Anak – anak sampai kakek – kakek pun datang memenuhi undangan sang putri ditempat itu. Rupanya mereka ingin menyaksikan bagaimana sang putri akan menentukan pilihannya.



Pengunjung berduyun – duyun datang dari seluruh penjuru pulau Lombok. Merekapun berkumpul dengan hati sabar menanti kehadiran sang putri. Betul seperti janjinya. Sang putri muncul sebelum adzan berkumandang. Persis ketika langit memerah di ufuk timur, sang putri yang cantik dan anggun ini hadir dengan diusung menggunakan usungan yang berlapiskan emas. Prajurit kerajaan berjalan di kiri, di kanan, dan di belakang sang putri. Sungguh pengawalan yang ketat.
Semua undangan yang menunggu berhari – hari hanya bisa melongo kecantikan dan keanggunan sang putri. Sang putri datang dengan gaun yang sangat indah. Bahannya dari kain sutera yang sangat halus.
Tidak lama kemudian, sang putri melangkah, lalu berhenti di onggokan batu, membelakangi laut lepas. Disitu Putri Mandalika berdiri kemudian ia menoleh kepada seluruh undangannya. Sang putri berbicara singkat, tetapi isinya padat, mengumumkan keputusannya dengan suara lantang dengan berseru : ”Wahai ayahanda dan ibunda serta semua pangeran dan rakyat negeri Tonjang Beru yang aku cintai. Hari ini aku telah menetapkan bahwa diriku untuk kalian semua. Aku tidak dapat memilih satu diantara pangeran. Karena ini takdir yang menghendaki agar aku menjadi Nyale yang dapat kalian nikmati bersama pada bulan dan tanggal saat munculnya Nyale di permukaan laut.”



Bersamaan dan berakhirnya kata – kata tersebut para pangeran pada bingung rakyat pun ikut bingung dan bertanya – tanya memikirkan kata – kata itu. Tanpa diduga – duga sang putri mencampakkan sesuatu di atas batu dan menceburkan diri ke dalam laut yang langsung di telan gelombang disertai dengan angin kencang, kilat dan petir yang menggelegar.
Tidak ada tanda – tanda sang putri ada di tempat itu. Pada saat mereka pada kebingungan muncullah binatang kecil yang jumlahnya sangat banyak yang kini disebut sebagai Nyale. Binatang itu berbentuk cacing laut. Dugaan mereka binatang itulah jelmaan dari sang putri.

Lalu beramai – ramai mereka berlomba mengambil binatang itu sebanyak – banyaknya untuk dinikmati sebagai rasa cinta kasih dan pula sebagai santapan atau keperluan lainnya.
Itulah kisah Bau Nyale. Penangkapan Nyale menjadi tradisi turun – temurun di pulau Lombok. Pada saat acara Bau Nyale yang dilangsungkan pada masa sekarang ini, mereka sejak sore hari mereka yang akan menangkap Nyale berkumpul di pantai mengisi acara dengan peresean, membuat kemah dan mengisi acara malam dengan berbagai kesenian tradisional seperti Betandak (berbalas pantun), Bejambik (pemberian cendera mata kepada kekasih), serta Belancaran (pesiar dengan perahu). Dan tak ketinggalan pula, digelar drama kolosal Putri Mandalika di pantai Seger.
Warga masyarakat yang datang ke pantai Seger untuk ikut melaksanakan upacara Bau Nyale datang dengan menggunakan kendaraan. Nyale bagi penduduk Lombok Selatan dengan lahan persawahan tadah hujan merupakan benda rahmat Tuhan yang bisa digunakan sebagai tanda keberhasilan panen yang memuaskan. Tradisi Bau Nyale – menangkap cacing laut – sebagai bagian dari legenda Putri Mandalika di Lombok. Di sana, warga dari sekeliling Lombok berdatangan sejak malam sebelumnya.



Bau Nyale ada di 16 pantai yang memanjang sejauh 72 kilometer dari arah timur hingga ke barat di selatan Lombok Tengah. Utamanya dilaksanakan di pantai Seger dan sekitarnya. Pantai obyek pariwisata yang potensial di Nusa Tenggara Barat. Keindahan pantai ini membuat hati para wisatawan menjadi kagum melihat segala pemandangan alamnya. Perairan di sekitar pantai Kuta hingga pantai Tanjung Aan sangat cocok untuk berenang. Pantai ini terletak di bagian selatan pulau Lombok, kira – kira 54 kilometer tenggara kota Mataram. Suasananya tenang senyap menyambut langkah – langkah diantara pasir putih halus – bagaikan merica – yang membentang dari ujung barat ke ujung timur dengan puluhan kawasan wisata mulai dari pantai Ujung Kelor yang berbatasan dengan Lombok Timur, hingga pantai Pengantap di Lombak Barat.
Seperti biasanya, dipadati ribuan kaum muda setelah menungguinya di tengah hujan deras sepanjang malam. Mereka yang rela menahan dingin dan kantuk di Pantai Seger di Desa Kuta Kecamatan Pujut dalam kawasan PT Pengembangan Pariwisata Lombok tersebut yang datang tidak hanya dari warga desa di Kecamatan Pujut saja. Tetapi juga para muda-mudi dari Mataram dan Praya yang datang mengendarai ratusan mobil.
Pantai Seger yang kini lebih dikenal dengan pantai Putri Nyale ini pun dilengkapi oleh lereng – lereng yang terjal dari bukit yang berbatasan dengan bibir pantai. Sungguh, alam mempesona. Di pantai selatan itulah hidup dan tersebar suatu legenda sehubungan dengan adanya Nyale (sejenis cacing laut) yang muncul satu kali dalam setahun.
Nyale ditangkap di beberapa tempat di pantai selatan pulau Lombok antara lain di pantai Kaliantan, Kuta, Selong Belanak, Mawun. Lokasi yang terbaik dikunjungi wisatawan adalah pantai Seger desa Kuta dengan kondisi prasarana yang cukup memadai. Nyale pada melakukan pembuahan muncul di permukaan laut yang dimulai pada waktu fajar sampai sebelum matahari terbit. Munculnya Nyale di permukaan laut pada saat menjelang fajar yang disinari oleh rembulan membawa keindahan yang menarik dan merangsang para nelayan untuk menangkap Nyale dan lama kelamaan menjadi tradisi budaya. Munculnya Nyale dipermukaan laut terjadi setiap tahun sekitar bulan Februari.



Secara ilmiah, cacing Nyale yang pernah diteliti mengandung protein hewani tinggi sekali. cacing Nyale ini telah diketahui mengeluarkan suatu zat yang sudah terbukti bisa membunuh kuman-kuman. Dari sebuah laporan survey aspek sosio budaya Nyale, diketahui 70,6 persen responden membuang daun bekas pembungkus Nyale ke sawah supaya hasil tanaman padi akan melimpah ruah dan memberi tahu tanaman padi bahwa nyale telah selesai ditangkap yang berarti hujan akan berhenti.
Selama ini masyarakat menjadikan masakan pes – dikukus dibungkus daun – yang enak sekali. Masyarakat juga meyakini apabila Nyale keluar banyak menandakan pertanian berhasil. Lombok Selatan selama ini dikenal sebagai daerah kritis karena tidak adanya irigasi. Sawah di sana tadah hujan. Jadi kalau hujan banyak barangkali salinitas air memungkinkan untuk populasinya berkembang, diyakini tanaman padinya berhasil.







Putri Mandalika
Ø  Cerita dari : Nusa Tenggara Barat
Ø  Tokoh : Putri Mandalika
Ø  Berasal dari : Lombok
Ø  Lingkungan : Bangsawan
Ø  Ragawi : Cantik jelita, kulit putih dan memiliki rambut panjang
Ø  Karakter : Ramah, sopan dan lemah lembut
Ø  Kesehatan : Sehat
Ø  Tata rias : Korektif
Ø  Tata Busana : Gaun yang indah
Ø  Umur : 20 tahun
Ø  Status : Tidak Menikah

2.        KONSEP GERAK
Dengan bantuan media Animasi lewat tayangan LCD pada layar. Didukung gerak-gerak realistis yang dapat memberi kesan nyata di atas panggung pertunjukkan (stage). Kemudian penggambaran gerak seorang “Putri Mandalika” yang divariasikan dengan stilisasasi pengembangan motif-motif dari gerak tari Gandrung asal Lombok provinsi Nusa Tenggara Barat.



Metode Penelitian Semester IV - RITUAL HABUKUNG DALAM UPACARA TIWAH LALE


RITUAL HABUKUNG DALAM UPACARA TIWAH LALE






Oleh:
NINA SARI
NIM 1410027411



TUGAS AKHIR METODE PENELITIAN
PROGRAM STUDI S1 SENI TARI
JURUSAN TARI FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN
INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA
 GENAP 2016




RITUAL HABUKUNG DALAM UPACARA TIWAH LALE

1.    Latar Belakang Masalah
            Dalam ritual adat kematian suku Dayak di Kalimantan Tengah. Dikenal tradisi Habukung atau Bukung berupa tarian hiburan untuk keluarga yang sedang berduka. Penarinya menggunakan topeng Bukung bermotif Sababuka.  Motif topeng Sababuka dapat berupa wajah seram dan menakutkan. Dengan ciri-cirinya yaitu hidung panjang, mata besar, bertaring, dan lidah menjulur keluar. Bukung-bukung bertopeng motif Sababuka itu hadir sambil membawa tarian bernama tari topeng Bukung. Tarian ini dibuat dengan gaya yang lucu dan riang. Dengan tujuan agar para keluarga yang sedang berduka dapat terhibur.
Tarian topeng Bukung tersebut dimiliki oleh masyarakat yang menganut agama Kaharingan. Kaharingan merupakan kepercayaan yang dianut oleh suku Dayak Ngaju. Mereka percaya bahwa setiap manusia yang telah meninggal dunia tidak akan bisa sampai rohnya kehadirat Ranying Hattala Langit (Tuhan) tanpa sebuah perantara, yakni upacara Tiwah Lale. Dalam kepercayaan ini, dipercaya bahwa kehidupan manusia diatur dengan jelas dari asal muasal kehidupan hingga kematian. Kematian adalah suatu peristiwa yang sangat sakral bagi mereka. Karena mereka percaya setelah kematian terdapat kehidupan yang kekal di Lewu Tatau (surga). Namun jiwa yang telah terlepas dari badan tidak langsung berada di Lewu Tatau begitu saja. Melainkan harus melewati sebuah proses ritual kematian.

Sebagai wujud penyempurnaan untuk meluruskan perjalanan jiwa menuju tempat keabadian tersebut, diadakanlah sebuah upacara adat atau ritual kematian. Upacara ini disebut upacara Tiwah Lale. Masyarakat suku Dayak Ngaju juga sering menyebutnya dengan upacara Tiwah saja. Tiwah Lale merupakan upacara ritual kematian tingkat akhir bagi masyarakat suku Dayak Ngaju yang amatlah beresiko tinggi, maka pelaksanaan dan persiapannya harus dilakukan dengan benar-benar cermat dan hikmat.[1]
Sedikit saja terjadi kekeliruan atau pelaksanaan tidak sempurna. Secara mitologi, para kerabat pelaksana Tiwah Lale akan menanggung beban berat. Mulai dari jauh rezeki hingga menanggung kutukan dari jiwa yang akan ditiwahkan.
Upacara Tiwah Lale atau biasa juga disebut Magah Salumpuk Liau merupakan upacara kematian sakral terbesar. Sebagai sebuah upacara yang besar, Tiwah Lale memiliki tahapan upacara. Tahapan upacara tersebut mulai dari, Mangubur, dalam tahap awal ini arwah dan  jasad diserahkan kepada Raja Entai Nyahu yang bertugas sebagai penjaga kuburan. Kedua, Tantulak Ambun Rutas Matei atau istilah lainnya Mapas Pali. Mapas Pali ialah menjauhkan keluarga dari arwah yang meninggal dari segala bentuk kesialan. Ketiga ialah upacara sucinya, yaitu upacara Tiwah Lale, yaitu prosesi pengantaran jiwa dan roh yang telah meninggal dunia menuju tempat yang dituju yaitu Lewu Liau atau biasa disebut Lewu Tatau (surga) yang letaknya di langit ketujuh. Pada puncak upacara Tiwah ini adalah menggali kubur manusia yang telah meninggal dan mengangkat tulang belulangnya untuk disemayamkan di dalam Sandung. Sandung merupakan rumah kecil dengan tiang yang sangat tinggi.
            Upacara Tiwah Lale yaitu prosesi menghantarkan jiwa kerabat yang telah meninggal dunia ke surga dengan cara menyucikan dan memindahkan sisa jasad dari liang kubur menuju sebuah tempat yang bernama Sandung. Sandung merupakan rumah kecil dengan tiang yang sangat tinggi. Di halaman depan dan di dalam Sandung tersebut, terdapat pula ritual Habukung atau bisa juga disebut dengan Babukung yang merupakan sebuah pertunjukan tari topeng Bukung. Bukung adalah sosok manusia yang berpakaian aneh dengan menggunakan topeng yang menyerupai hantu, hewan, dan tumbuhan yang menari-nari seolah sedang mengiringi kepergian jiwa ke surga. Sosok Bukung diperankan oleh kerabat yang berduka cita. Selain para kerabat, biasanya juga dapat diperankan oleh masyarakat . Terutama para laki-laki dewasa suku Dayak Ngaju tersebut. 
Perwujudannya memakai baju compang-camping, berlumur lumpur, bahkan berbaju daun kering. Adanya pertunjukan tari topeng Bukung ini, membuat duka cita para kerabat yang ditinggalkan menjadi kalah dengan kegembiraan mereka. Karena mereka dapat melaksanakan upacara Tiwah Lale. Dengan maksud untuk menghantarkan jiwa kerabatnya menuju alam sorgawi. Hal itu mereka salurkan dengan cara menari-nari tersebut.


            Upacara Tiwah dipimpin oleh Basir atau Pisur. Istilah  Basir dipakai di daerah Kahayan. Sedangkan Pisur di daerah Katingan. Pada umumnya upacara yang dipimpin oleh  Basir lebih lama. Karena berkisar hingga 2 bulan. Berbeda dengan  yang  dipimpin oleh  Pisur dengan waktu yang  lebih singkat.[2]
            Ritual Habukung dapat juga disebut tari topeng Bukung. Ritual ini biasanya digelar dua kali. Dalam dua bentuk dan tahapan upacara kematiannya yang berbeda cara maupun waktunya. Pertama, pada saat upacara Mangubur dengan bentuk Bukung Kinyak. Bukung Kinyak ini digelar pada pagi hari. Tetapi dapat juga digelar pada siang hari.  Kedua, pada malam hari saat upacara Tiwah. Sering juga dibawakan tari topeng Bukung dengan bentuk Bukung Bungkus.
            Dalam tahapan upacara Mangubur, Bukung Kinyak bertugas mengarak jenazah menuju tempat penguburan dan sekaligus menguburkannya. Bukung Kinyak biasanya tidak menggunakan topeng hanya melumuri seluruh badan dengan lumpur dan dedaunan. Pada saat upacara Tiwah, Bukung Bungkus mengenakan balutan daun pisang kering atau menggunakan ijuk, dengan berbagai macam karakter topeng.
            Tarian topeng Bukung dilaksanakan setiap malam selama ritual kematian berlangsung. Dengan diiringi property tari sekaligus menjadi alat musiknya yang disebut Salekap. Alat musik ini terbuat dari bambu yang tanpa ruas. Termasuk dalam jenis alat musik perkusi. Dengan cirinya bambu yang setengah terbelah, memiliki ruas dan sekaligus menjadi resonator. Ada beberapa penari yang menarikan tari topeng Bukung ini juga sambil memainkan Salekap. Namun ada para penari yang hanya menari saja tanpa menggunakan property Salekap tersebut. Begitupun dengan para pemusik yang hanya membunyikan Salekap bersamaan dengan alat musik lainnya. Alat musik lainnya tersebut seperti kecapi, bedug dan gong khas Kalimantan Tengah.
            Tarian ini biasanya dilakukan berbanjar dan mengelilingi kampung dengan gerak lemu lambai. Gerak lemu lambai yaitu gerak mengayunkan tangan dengan santai. Dilakukan dengan mengikuti ritme gerak hentakan kaki secara bersamaan. Pada puncak ritual mereka menarikan gerak menganjan. Gerak menganjan merupakan sebuah gerak pengesaan seperti gerak menyembah kepada Tuhan. Biasanya para penari Bukung ini menggerakkannya dalam bentuk pola lantai melingkar. Sambil mengelilingi sangkai lunuk. Sangkai lunuk merupakan pusat atau posisi yang berada di tengah-tengah tempat upacara. Ini yang dilakukan saat Bukung Bungkus yang menarikannya. Berbeda dengan bentuk Bukung Kinyak. Gerak lemu lambai dan gerak menganjan tersebut dilakukan pada saat penguburan jenazah. Bukung Kinyak akan mengarak mayat sampai menguburkannya. [3]



2. Rumusan Masalah
Uraian latar belakang di atas memunculkan rumusan masalah sebagai rujukan dalam penulisan ini, diantaranya sebagai berikut :
1.      Bagaimana bentuk penyajian dan fungsi tari topeng Bukung dalam upacara Tiwah di Kalimantan Tengah?
2.      Apa saja nilai-nilai yang terkandung dalam ritus Habukung saat upacara Tiwah di Kalimantan Tengah?
3.    Tujuan Penelitian
       Sebuah penelitian harus mempunyai tujuan yang ingin disampaikan. Berikut tujuan dari penelitian ini :
a.    Mengetahui dan mendeskripsikan bentuk penyajian dan fungsi tari topeng Bukung dalam upacara Tiwah di Kalimantan Tengah.
b.    Menelaah nilai-nilai yang terkandung dalam ritus Habukung saat upacara Tiwah di Kalimantan Tengah.
4.     Manfaat Penelitiaan
       Adapun manfaat dari penelitian ini untuk masyarakat, penulis atau peneliti. Berikut manfaat dari penelitian ini :
a.    Mengetahui dan memahami serta menambah wawasan bagi penulis atau peneliti tentang bentuk penyajian, fungsi tari serta nilai-nilai yang terkandung dalam ritus Habukung saat upacara Tiwah di Kalimantan Tengah.
b.    Memberikan informasi kepada masyarakat tentang kesenian tari topeng yang berasal dari Kalimantan Tengah.
5.    Tinjauan Sumber
Buku yang berjudul Adat Istiadat Dayak Ngaju. Diterbitkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat - Pusat Budaya Betang Kalimantan Tengah (LSM - PBBKT). Gambaran isi buku ini ialah tentang peran adat istiadat dalam kehidupan masyarakat suku Dayak Ngaju.Serta aspek budaya suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Buku ini sangat bermanfaat untuk penjelasan tentang unsur-unsur kebudayaan suku Dayak Ngaju.
Buku yang berjudul Seni Pertunjukan Dan Masyarakat Penonton oleh Y. Sumandiyo Hadi. Buku tersebut menjelaskan tentang keberadaan seni pertunjukan dengan para penontonnya. Salah satu gambaran isi buku ini ialah tentang fungsi pelembagaan seni pertunjukan. Fungsi pelembagaan tersebut meliputi pelembagaan  fungsi kepercayaan. Dengan upacara Tiwah yang merupakan salah satu contohnya di dalam buku ini. Begitulah alasan buku ini menjadi sangat bermanfaat untuk tambahan informasi yang terkait dengan upacara Tiwah sebagai pembahasan dalam penelitian ini.
Buku katalog pameran yang berjudul The Power Of Topeng. Diterbitkan oleh Museum Sonobudoyo. Gambaran isi buku ini ialah tentang sejarah, fungsi, dan makna simbolik yang berkaitan langsung dengan topeng nusantara. Buku ini  juga sangat bermanfaat untuk penjelasan tentang rumusan paling utama mengenai fungsi topeng di Indonesia.


6.    Pendekatan Penelitian
            Bentuk penyajian tari topeng Bukung dalam upacara Tiwah di Kalimantan Tengah ini pendekatan ilmunya berkaitan dengan ilmu Koreografi. Adapun Fungsi tari topeng Bukung ini melalui pendekatan ilmu Antropologi. Sedangkan nilai-nilai yang terkandung dalam tari topeng Bukung berkaitan dengan pendekatan ilmu Estetika.
            Landasan berpikir penelitian ini lebih merujuk pada acuan sumber-sumber pustaka berupa buku-buku tentang kebudayaaan. Dilengkapi dengan sumber lisan yang juga membantu dalam peroses penelitiannya. Dimengerti sebagai perangkat analisis penelitiannya bahwa tari topeng Bukung tidak lepas dengan wujud adat istiadat lingkungan dan sekitarnya. Berisi kerangka konseptual yang digunakan untuk menjelaskan, mendeskripsikan dan menganalisis permasalahan penelitian mengenai bentuk penyajian, fungsi dan nilai-nilai yang terkandung dalam tari topeng Bukung.
            Penelitian ini bersifat deskriptif karena hanya mendeskripsikan tentang bentuk penyajian, fungsi dan nilai-nilai yang terkandung dalam tari topeng Bukung. Bersifat naturalistik karena penelitian ini memang terjadi secara alamiah, apa adanya serta dalam situasi normal yang tidak memanipulasi keadaan dan kondisinya. Kedua sifat pendekatan penelitian kualitatif tersebut telah dipakai untuk membantu proses penelitian ini. Menyangkut aspek bentuk penyajian, fungsi dan nilai-nilai yang terkandung dalam tari topeng Bukung.




[1]Tjilik Riwut, 2003, Maneser Panatau Tatu Hiang, Palangkaraya:Pusakalima, 22

[2]Y. Sumandiyo Hadi, 2012, Seni Pertunjukan dan Masyarakat Penonton, Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, 48
[3]Wawancara langsung dengan Budi Jaya Habibi, berusia 22 tahun, seorang penari di salah satu sanggar asal kabupaten Sampit provinsi Kalimantan Tengah. Pada hari Minggu, tanggal 27 Maret 2016 pukul 13.47 wib di Pendopo Tari Intitut Seni Indonesia Yogyakarta.


Daftar Sumber Acuan
a)      Sumber Tertulis
Brown, Radcliffe A.R. 1980. Struktur dan Fungsi Masyarakat Primitif,
terjemahan Ab. Razak. Kuala Lumpur: Dewan dan Kementrian Pelajaran Malaysia.

Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. 2015. The Power Of Topeng. Yogyakarta: Museum Sonobudoyo.
Hadi, Y. Sumandiyo. 2012. Seni Pertunjukan dan Masyarakat Penonton. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.
Lembaga Swadaya Masyarakat - Pusat Budaya Betang Kalimantan Tengah. 2003. Adat Istiadat Dayak Ngaju. Kalimantan Tengah: LSM - PBBKT.
Poerwanto, Hari. 2010. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Riwut, Tjilik. 2000. Kalimantan Membangun. Palangka Raya: Pusakalima.
Riwut, Tjilik. 2003.  Maneser Panatau Tatu Hiang. Palangka Raya: Pusakalima.
Royce, Anya Peterson. 1977. The Antropology of Dance. Bloomington, London: Indiana University Press.
Sedyawati, Edi.2006. Budaya Indonesia : Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah.   Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Smith, Jacqueline. 1973. Komposisi Tari: Sebuah Pertunjukan Praktis Bagi Guru, terjemahan Ben Suharto. Yogyakarta: Ikalasti Yogyakarta.
b)      Sumber Lisan
Budi Jaya Habibi seorang penari di salah satu sanggar asal kabupaten Sampit provinsi Kalimantan Tengah, berusia 22 tahun.